Minggu, 02 Juni 2013

PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

Abstraksi
Dalam perspektif HAM, membentuk keluarga melalui pernikahan merupakan hak prerogatif pasangan calon suami dan istri yang sudah dewasa. Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akte perkawinannya. Namun sayangnya, realitas ini tidak cukup disadari oleh negara, bahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun KHI tidak memberi tempat bagi perkawinan beda agama. Sebagai sebuah instrumen hukum, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maupun KHI di samping merupakan sandaran atau ukuran tingkah laku atau kesamaan sikap (standard of conduct), juga berfungsi sebagai suatu perekayasaan untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih sempurna (as a tool of social engineering) dan sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya suatu tingkah laku (as a tool of justification). Fungsi tersebut ditegakkan dalam rangka memelihara hukum menuju kepada kepastian hukum dalam masyarakat. Jika asumsi ini diaplikasikan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka pembaruan terhadap beberapa pasal dalam undang-undang ini khususnya pada pasal 2 ayat (1) yang sering dijadikan rujukan bagi persoalan perkawinan beda agama, menjadi sebuah keharusan. Asumsinya, negara mempunyai kewajiban untuk melayani hajat keberagamaan warganya secara adil tanpa diskriminasi. Implikasi dari kewajiban negara tersebut harus diartikan secara luas terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara di mata hukum. Atas dasar itu, negara harus memenuhi hak-hak sipil warga negaranya tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut.
Keyword: Hak Asasi Manusia, Perkawinan Beda Agama, Kebebasan Beragama.
Pendahuluan
Diskursus tentang HAM[1] terus berlanjut seiring dengan perkembangannya, tidak terkecuali di Indonesia. Salah satu instrumen hukum HAM di Indonesia adalah lahirnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berisi 11 bab 106 pasal.[2] Maka dengan lahirnya undang-undang tersebut, HAM adalah hak-hak yang diakui secara konstitusional sehingga pelanggaran terhadap HAM merupakan pelanggaran atas konstitusi.[3] Untuk mendukung terwujudnya kesadaran kolektif atas eksistensi HAM maka pemerintah menyadari bahwa kebijakannya harus mengedepankan isu-isu HAM. Meskipun pada dasarnya HAM bukanlah berada pada wilayah politik, namun dalam praktek bernegara, terlaksananya HAM secara baik dan bertanggung jawab sangat tergantung kepada political will dan political action dari penyelenggara negara.
Salah satu kebijakan negara Indonesia dalam persoalan klasik yang tetap menjadi isu aktual dalam wacana hukum Islam (khususnya di Indonesia) adalah wacana perkawinan beda agama.[4] Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Untuk memenuhi tuntutan bunyi pasal tersebut, maka bagi umat Islam di Indonesia melahirkan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) yang diantara materi-materinya adalah masalah kawin beda agama yaitu pasal 40 huruf (c) dan pasal 44.[5] Hanya saja materi yang termuat dalam pasal tersebut adalah berupa pelarangan tegas terhadap persoalan kawin beda agama.
Larangan tersebut tentu saja perlu dikritisi lebih lanjut karena beberapa hal yaitu,pertama sebagai satu negara yang sudah memiliki instrumen hukum berupa Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, idealnya negara menjamin kebebasan warganya untuk memilih pasangannya dalam membentuk sebuah keluarga. Hak untuk memilih pasangan hidup merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya oleh negara. Berdasarkan pasal 10 ayat (1) dalam undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang bebas Kenyataannya, negara justru membatasi perkawinan tersebut.Kedua, Indonesia bukan negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler sehingga di dalam pembentukan hukum nasional, pemerintah harus bisa menjamin kepastian hukum kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut, termasuk dalam persoalan perkawinan beda agama. Ketiga, perkawinan antar agama secara objektif sosiologis adalah wajar karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-macam agama dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan beragama bagi setiap penduduknya sehingga tentu saja terbuka kemungkinan terjadinya dua orang berbeda agama saling jatuh cinta dan pada akhirnya membentuk sebuah keluarga. Keempat, akibat tidak diaturnya ketentuan mengenai perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974, maka hal tersebut membuka ruang terjadinya penyeludupan hukum. Untuk memenuhi persyaratan formal secara perdata, suami-istri berbeda agama “rela” melangsungkan pernikahan di luar negeri tanpa memperhatikan hukum agama, atau salah satu pihak pura-pura pindah agama.
Oleh karena itu, kajian mengenai perkawinan beda agama dalam perspektif HAM menjadi signifikan berdasarkan kegelisahan diatas. Tulisan sederhana berikut ini mencoba menganalisa satu persoalan pokok yakni bagaimanakah pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia bila dianalisis dalam perspektif HAM khususnya lewat instrumen Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)?
Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah ada suatu peraturan hukum antar golongan yang mengatur masalah perkawinan campuran. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bernama Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran sebagaimana dimuat dalam Staatsblad 1898 No. 158.[6]
Pada pasal 1 GHR dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran adalah “Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan”. Ada 3 pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar tempat yakni, pertama, kelompok yang berpendirian “luas” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam GHR; kedua, kelompok yang berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR; dan ketiga, kelompok yang berpendirian “setengah luas setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja yang termasuk dalam GHR, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR.[7]
Soudargo Gautama berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada pasal 1 GHR berarti perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio, golongan rakyat, tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian yang luaslah yang banyak di dukung oleh para sarjana hukum. Namun menurut O.S. Eoh, semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966, tidak ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan antara WNI dan WNA sehingga di Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran antar tempat dan antar golongan.
Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan alasan yakni pertama, dengan mengingat kembali pada sejarah undang-undang perkawinan 1973, terutama perdebatan yang berkaitan dengan pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan, maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di Indonesia.[8]
Kedua, ada beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar dilarangnya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 haruf (f). Dalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan “Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”.
Bila pasal ini diperhatikan secara cermat, maka dapat difahami bahwa undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan tersebut, disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditepkan oleh negara. Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum, maka disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, hal tersebut juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing. Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, maka perkawinan beda agama tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum agama-agama yang diakui di Indonesia. Argumentasi ini diperkuat oleh pasal 8 huruf (f) bahwa “perkawinan dilarang antara dua orang yang ; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlakudilarang kawin”.[9]
Ketiga, merujuk kepada pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Dari ketentuan pasal 66 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB. 1898/158)  sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, GHR juga mengandung asas yang bertentangan dengan asas keseimbangan hukum antara suami istri sebagaimana yang dianut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Selain itu, rumusan mengenai perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan rumusan dalam pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Adapun perkawinan antara sesama warga negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut undang-undang ini.
Perspektif Hak Asasi Manusia tentang Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia.
Hal yang signifikan di dalam memahami persoalan perkawinan beda agama bukanlah soal perbedaan agama itu sendiri, tetapi soal tanggung jawab negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak warganya. Adapun yang dipersoalkan adalah soal relasi vertikal dalam hubungan antara negara dan warga negara (citizen), bukan soal relasi horisontal yang menyangkut hubungan di antara warga negara yang beragam agama, kepercayaan dan beragam penafsirannya.[10]
Hal ini penting untuk diperhatikan karena persoalan perkawinan beda agama dalam konteks Negara Indonesia adalah persoalan hukum, sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan beda agama adalah persoalan teologis dan tafsir-tafsir keagamaan. Oleh karena Indonesia bukan negara agama, maka yang menjadi acuan adalah hukum nasional. Meskipun hukum nasional, seperti Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mendasarkan diri pada apa yang dikatakan dengan hukum agama, namun cendrung lebih terikat pada dasar filosofi bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Artinya, prinsip mengakui keragaman bangsa dan kemajemukan masyarakat haruslah menjadi dasar dari pembentukan dan pembuatan suatu hukum maupun undang-undang yang bersifat nasional.
Dalam konteks nation state, tidak boleh ada satu produk hukum pun yang sektarian yang hanya menguntungkan kelompok agama tertentu dan mengabaikan suara komunitas agama lainnya.[11] Setiap warga negara dijamin hak-haknya yang sama dan sederajat, apa pun latar belakang agama, keyakinan, dan kepercayaannya. Setiap pertimbangan dan alasan untuk membuat perundang-undangan haruslah memperhitungkan kesamaan dan kesederajatan warga negara dalam pemenuhan hak-hak mereka, tanpa membedakan antara satu kelompok warga negara dengan yang lainnya atas dasar perbedaan agama dan kepercayaan. Dalam perspektif HAM, setiap pembuatan undang-undang harus mempertimbangkan terlebih dahulu kewajiban negara untuk mempromosikan (to promote), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak mendasar warga negara.[12]
Jika melihat persoalan perkawinan di Indonesia, maka hukum perkawinan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU ini terdiri dari 14 bab dan 67 pasal, dan untuk implementasinya dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanannya dan dinyatakan berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975. Berkaitan dengan perkawinan beda agama, maka pasal yang sering dijadikan rujukan bagi persoalan ini adalah pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu” dan ditegaskan lagi lewat Penjelasan pasal tersebut bahwa “ Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945”.
Jika dianalisa secara kritis, tampak bahwa persoalan hak asasi manusia muncul dalam kasus perkawinan beda agama berkaitan dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan sebagai peraturan pelaksana UU Perkawinan. Problem HAM yang muncul adalah:
Pertama, soal sahnya perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (1) diatas terlihat bahwa sahnya perkawinan tergantung apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ketentuan ini hanya dapat dilaksanakan manakala kedua mempelai memiliki agama yang sama. Kalau keduanya memiliki agama yang berbeda, maka boleh jadi, ada empat cara yang lazim ditempuh pasangan beda agama yang akan menikah yakni, pertama, meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas dasar penetapan itulah pasangan melangsungkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil. Tetapi cara ini tak bisa lagi dilaksanakan sejak terbitnya Keppres No. 12 Tahun 1983. Kedua, perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama. Perkawinan terlebih dahulu dilaksanakan menurut hukum agama seorang mempelai (biasanya suami), baru disusul pernikahan menurut hukum agama mempelai berikutnya. Permasalahannya perkawinan mana yang dianggap sah? Apakah perkawinan menurut hukum yang kedua (terakhir)? Jika ya, apakah perkawinan pertama dianggap tidak sah? Ketiga, kedua pasangan menentukan pilihan hukum. Salah satu pandangan menyatakan tunduk pada hukum pasangannya. Dengan cara ini, salah seorang pasangan ‘berpindah agama’ sebagai bentuk penundukan hukum. Disini terlihat adanya penyeludupan hukum dimana salah satu pihak secara pura-pura beralih agama. Keempat, yang sering dipakai belakangan, adalah melangsungkan perkawinan di luar negeri.[13] Beberapa artis tercatat memilih cara ini sebagai upaya menyiasati susahnya kawin beda agama di Indonesia. Masalahnya, apakah kawin beda agama di luar negeri sah menurut hukum Indonesia? Jika ingin dipertajam lagi, mengapa warga negara Indonesia tidak mendapatkan perlindungan hukum di dalam negerinya sendiri, tetapi justru ingin mendapatkan perlindungan hukum dari negara lain? Bukankah hal tersebut sungguh ironis?
Kedua, soal pencatatan perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Peran pemerintah hanya sebatas melakukan pencatatan nikah dan hal tersebut berarti pemerintah hanya mengatur aspek administratif perkawinan. Namun, dalam prakteknya, kedua ayat dalam pasal 2 tersebut berlaku secara kumulatif sehingga kedua-duanya harus diterapkan bagi persayaratan sahnya suatu perkawinan. Hal ini boleh jadi merupakan konsekwensi dari sistematika produk perundang-undangan dimana komponen-komponen yang menjadi bagiannya tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain.[14]
Akibatnya, meskipun suatu perkawinan sudah dipandang sah berdasarkan aturan agama tertentu, tetapi kalau belum dicatatkan pada kantor pemerintah yang berwenang (baik Kantor Urusan Agama/KUA untuk yang beragama Islam ataupun Kantor Catatan Sipil/KCS untuk yang diluar Islam), maka perkawinan tersebut belum diakui sah oleh negara. Dalam berbagai kasus, sahnya suatu perkawinan secara yuridis memang harus dibuktikan melalui buku nikah yang diperoleh dari KUA dan KCS. Hal ini tentu saja menimbulkan implikasi hukum dan sosial yang beragam bagi pasangan yang berbeda agama seperti misalnya anak-anak yang lahir tidak akan dianggap sebagai keturunan yang sah dan suami-istri pun mengalami kesulitan memperoleh hak-hak keperdataan yang timbul dari perkawinan tersebut. Padahal dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.
Problem lain yang muncul dari sahnya sebuah perkawinan harus dicatatkan adalah bahwa pencatatan tersebut hanya berlaku bagi agama-agama yang diakui oleh negara sebagaimana yang tertuang dalam UU No 1/PNPS/1965 dimana agama-agama yang diakui di Indonesia hanya ada lima yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Chu. Di luar itu hak sipilnya tidak diakui negara sehingga orang yang di luar enam agama tersebut jika menikah dan ingin diakui negara maka dia harus membohongi negara dan diri sendiri.[15]
Definisi agama yang dibuat oleh pemerintah ternyata sangat diskriminatif. Defenisi agama versi pemerintah menyebutkan bahwa agama adalah sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci, memuat ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan kitab suci. Definisi ini berimplikasi negatif karena menimbulkan diskriminasi terhadap agama-agama bumi yang tidak memenuhi syarat sebagai agama sesuai definisi pemerintah. Selain itu, diskriminasi tersebut merembet pada diskriminasi terhadap hak sipil. Mereka terancam tidak memiliki KTP karena komputer pemerintah hanya bisa menuliskan satu dari 5 agama atau mereka harus memilih pencantuman sebagai salah satu pemeluk agama yang 5 untuk dapat dibuatkan KTPnya. Hal ini tentu berimplikasi pada masalah pencatatan perkawinan yang seringkali ditolak oleh Kantor Catatan Sipil karena bukan pemeluk salah satu agama yang diakui oleh pemerintah. Perkawinan yang tidak mendapatkan pengakuan negara akan mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan Kartu Keluarga (KK), akta kelahiran anak, KTP, surat nikah dan hak pendidikan. Ini artinya keluarga tersebut kehilangan hak sipilnya sebagai warga negara. Diskriminasi jelas merupakan tindakan yang melanggar HAM. Dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan spek kehidupan lainnya”. Pertanyaannya, atas dasar apa negara seakan mempunyai otoritas untuk menentukan diakui atau tidaknya sebuah agama padahal agama telah lahir dan eksis terlebih dahulu dibandingkan dengan kelahiran sebuah negara?
Problem-problem di atas tentu tidak harus terjadi jika saja pemerintah lebih memahami bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang hidup yang bukan merupakan pemberian siapapun juga termasuk negara, sedangkan hak sipil adalah hak warga negara yang menimbulkan kewajiban bagi negara untuk melindungi, mengakui dan memproteksinya.
Hak beragama, berkeyakinan, dan berkeluarga termasuk dalam rumpun hak sipil.  Beragama dan beraliran kepercayaan adalah hak sipil dalam arti bahwa hak itu sudah ada, tumbuh dan berkembang dalam lembaga sosial dan keagamaan sebelum lahirnya organisasi negara. Dasar kebebasan agama dan beragama adalah kodrat atau martabat manusia itu sendiri. Kodrat atau martabat adalah kenyataan bahwa manusia sebagai pribadi dikaruniai akal budi dan kehendak. Akal budi dan kehendak bebas tersebut merupakan inti kodrat (martabat) manusia. Berkaitan dengan adanya kedua hal tersebut dalam diri manusia, maka dikatakan manusia mempunyai tanggung jawab pribadi dalam bidang apa saja, termasuk dalam tindakan percaya dan beragama itu sendiri. Tanggung jawab pribadi yang mengandaikan akal budi dan kehendak bebas itu bukanlah sesuatu yang diberikan oleh siapa-siapa dan oleh karena itu tidak dapat diambil oleh siapapun.
Berbicara tentang pilihan terhadap agama, berarti berbicara tentang sesuatu yang paling asasi pada diri manusia.[16] Dikatakan demikian karena proses manusia dalam beragama merupakan pengejawantahan kesadaran ilahiyah yang terpatri dalam diri manusia. Kesadaran ini kemudian memperoleh afirmasi simbolik melalui agama formal yang disebarkan melalui utusan Tuhan yang jumlahnya tak terbilang. Dari kajian sejarah agama-agama diperoleh suatu gambaran, banyaknya utusan Tuhan berpengaruh juga terhadap banyaknya agama yang dipeluk oleh manusia. Maka kalau kemudian muncul kebijakan yang hanya mengakui keberadaan agama dengan jumlah yang amat terbatas, maka hal ini merupakan pengingkaran terhadap kemerdekaan eksistensial manusia untuk melakukan ziarah spiritual yang bisa jadi melintasi agama-agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah.[17]
Oleh karena itu, setiap orang mempunyai kewajiban dan hak untuk mencari kebenaran terutama dalam bidang agama, sesuai dengan tuntutan suara hatinya. Orang harus dapat menjalankan kewajiban dan menggunakan haknya dalam suasana bebas tanpa ketakutan dan tekanan dari pihak manapun dan dalam bentuk apa pun. Dalam suasana itulah, manusia dapat bertindak secara bertanggung jawab. Oleh karena itu, kebebasan adalah hak asasi manusia dan termasuk dalam martabat manusia. Merusak kebebasan seseorang berarti menghina citra martabat orang itu sebagai manusia.
Adapun hak sipil itu umumnya berkaitan dengan prinsip kebebasan, yang terganggu karena hadirnya organisasi negara. Negara melalui pemerintah cenderung mengatur, membatasi dan terkadang melarang kebebasan sipil. Kebebasan sipil yang berkait dengan nilai-nilai agama dan diatur oleh kaidah agama, seringkali berimpit dengan hak penguasa dalam mengatur kehidupan kemasyarakatan. Hak untuk memilih pasangan hidup misalnya, haruslah merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya oleh pemerintah. Namun kenyataannya, negara tidak membiarkan begitu saja kebebasan memilih pasangan yang bersamaan jenis atau berbeda agama.[18]
Negara seharusnya tidak dibenarkan memaksa seseorang agar mengawini orang yang sama agamanya, karena perkawinan berbeda agama itu pun merupakan bagian dari kebebasan memilih calon suami atau istri. Lebih jauh lagi, perkawinan beda agama adalah merupakan implikasi dari realitas kemajemukan agama, etnis, suku, ras yang ada di Indonesia sehingga jika terjadi pelarangan perkawinan beda agama, maka hal tersebut sama saja dengan mengingkari realitas kemajemukan tadi. Kaidah dalam hak-hak asasi manusia sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak mungkin dapat ditegakkan pelaksanaannya tanpa adanya hukum positif yang mengatur hak tersebut. Walaupun kaidah hak asasi manusia membenarkan perkawinan antar agama, tetapi jika pemerintah menolak melakukan pencatatan, maka kaidah hak asasi manusia itu akan kehilangan makna. Oleh karena itu, meskipun pemerintah atau negara tidak melarang perkawinan campuran antar agama, namun pemerintah secara tidak langsung menolak hak asasi tersebut melalui lembaga pencatatan nikah. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesan bahwa pemerintah memaksakan seseorang untuk memilih agama, yang semata-mata hanya untuk kepentingan unifikasi hukum dan administrasi pemerintahan.
Oleh karena itu, bila di Indonesia terjadi penolakan perkawinan beda agama, baik dari segi pelaksanaannya maupun pencatatannya, maka dalam perspektif HAM, hal tersebut menurut penulis jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.
Alasannya adalah bahwa Undang-Undang No. 39 tahun 1999 yang merupakan instrumen hukum yang mengatur HAM secara khusus di Indonesia, dengan tegas menjelaskan pada pasal 22 ayat (1) bahwa “ Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”. Pasal 10 ayat (1) lebih menegaskan lagi bahwa “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Pelarangan kawin beda agama juga melanggar prinsip kebebasan dasar seseorang dalam beragama dan merupakan tindakan diskriminatif. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 secara jelas menyatakan bahwa “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung di dasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan sepek kehidupan lainnya”.
Oleh karena itu, tindakan diskriminasi terhadap kebebasan seseorang dalam beragama mesti dihentikan karena beragama merupakan salah satu hak asasi manusia dan merupakan kebebasan dasar manusia yang diatur dan dijamin perlindungannya dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Hal ini tampak pada pasal 3 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Dalam Pasal 8 juga ditegaskan bahwa negara (dalam hal ini pemerintah) memiliki tanggungjawab menjamin prinsip kebebasan tersebut yang menjadi hak asasi manusia, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama Pemerintah“. Oleh karena itu, jika terjadi pelanggaran, pembatasan, bahkan penolakan terhadap kebebasan beragama dan kebebasan untuk berkeluarga (menikah) di Indonesia, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap HAM dan konstitusi itu sendiri.
Dari segi pencatatan perkawinan, setiap warga negara yang memeluk agama apa pun yang secara universal diakui oleh umat manusia, maka berhak mendapat pelayanan administrasi dari negara. Tidak bisa dibenarkan Kantor Catatan Sipil menolak pencatatan perkawinan hanya karena suatu agama tidak tercatat pada lembaran negara atau karena masing-masing pasangan yang ingin menikah berbeda agamanya. Asumsi dasar dari pencatatan perkawinan adalah bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian aktifitas ritual dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai perikatan yang berdimensi yuridis dan sosiologis sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legalitas yang bersifat yuridis-formal. Di samping perkawinan adalah sebagai sebuah peristiwa hukum, perkawinan juga merupakan bagian dari proses sosial yang memerlukan adanya pengakuan secara sosial. Keharusan pencatatan dalam perkawinan bisa ditempatkan sebagai tindakan preventif dari kemungkinan lahirnya pelanggaran hukum berupa kekerasan dalam perkawinan baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis maupun penelantaran rumah tangga dengan payung yuridis yang kuat dan otentik yang dibuktikan dengan adanya akte perkawinan.
Pencatatan perkawinan juga merupakan bagian hak asasi warga negara yang perlu dilindungi karena berdasarkan pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.
Masa Depan Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
“A constitution is not the act of a government but of a people constituting a government, without a constitution is power without right, and a constitution is the property of the nation and not of those who exercise the goverment”,[19] demikian penegasan Thomas Paine, seorang tokoh radikal abad ke-18 yang karya-karyanya banyak mengilhami munculnya revolusi Prancis dan Amerika. Pandangan ini menunjukkan bahwa kedudukan konstitusi merupakan elemen esensial dalam sebuah negara. Tidak saja karena konstitusi memberikan kejelasan tentang mekanisme ketatanegaraan, tetapi juga memberikan penegasan atas kedudukan dan relasi yang amat kuat antara penguasa dan rakyat.
Dalam konteks jaminan atas HAM, konstitusi memberikan arti penting tersendiri bagi terciptanya sebuah paradigma negara hukum sebagai buah dari proses dialektika demokrasi yang telah berjalan secara amat panjang dalam lintasan sejarah peradaban manusia. Jaminan atas HAM meneguhkan pendirian bahwa negara bertanggung jawab atas tegaknya supremasi hukum. Oleh karena itu, jaminan konstitusi atas HAM penting artinya bagi arah pelaksanaan ketatanegaraan sebuah negara, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sri Soemantri sebagai berikut:
Adanya jaminan terhadap hak-hak dasar setiap warga negara mengandung arti bahwa setiap penguasa dalam negara tidak dapat dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang kepada warga negaranya. Bahkan adanya hak-hak dasar itu juga mempunyai arti adanya keseimbangan dalam negara, yaitu keseimbangan antara kekuasaan dalam negara dan hak-hak dasar warga negara.[20]
Dari pernyataan diatas terlihat bahwa konstitusi merupakan napas kehidupan ketatanegaraan sebuah bangsa, tidak terkecuali bagi bangsa Indonesia. Konstitusi sebagai perwujudan konsensus dan penjelmaan dari kemauan rakyat memberikan jaminan atas keberlangsungan hidup berikut HAM secara nyata. Oleh karena itu, jaminan konstitusi atas HAM adalah bukti dari hakikat, kedudukan dan fungsi konstitusi itu sendiri bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, dalam perspektif HAM, membentuk keluarga melalui pernikahan merupakan hak prerogatif pasangan calon suami dan istri yang sudah dewasa. Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akte perkawinannya. Namun sayangnya sebagaimana analisa penulis di atas, realitas ini tidak cukup disadari oleh negara, bahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak memberi tempat bagi perkawinan beda agama. Akibatnya, banyak warga negara yang kebetulan “mampu” secara ekonomi menyiasati pembatasan undang-undang tersebut dengan mencatatkan perkawinannya di luar negeri untuk akhirnya dilaporkan ke Kantor Catatan Sipil di Indonesia. Sungguh ironis, bahwa warga negara Indonesia tidak mendapatkan perlindungan hukum di dalam negerinya sendiri, tetapi justru mendapatkan perlindungan hukum dari negara lain. Untuk yang tidak mungkin ke luar negeri, ada yang terpaksa “mengalah” dengan jalan pindah agama sejenak agar peristiwa pernikahannya dicatat oleh Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama.
Pertanyaannya kemudian, solusi apa yang bisa ditawarkan sehingga hak seseorang untuk melakukan pernikahan beda agama di Indonesia tetap terjamin dan tidak akan tejadi lagi tindakan yang diskriminatif seperti di atas? Salah satu yang perlu dilakukan adalah merevisi Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan khususnya pasal 2 ayat 1. Pembaruan tersebut menurut penulis secara teoritis dilatari dengan alasan, pertama, bahwa perkawinan, membentuk keluarga dan mendapatkan keturunan adalah merupakan hak seseorang yang termasuk dalam hak asasi manusia[21]kedua, sebagai sebuah negara, Indonesia dibangun bukan oleh satu komunitas agama saja, melainkan di dasarkan pada asas nasionalitas; ketiga, dalam konteks negara demokrasi[22], maka beberapa prasyarat yang dibutuhkan antara lain jaminan membangun civil society yang bebas, otonomi dan kualitaspolitical society, adanya rule of law sebagai jaminan hukum bagi kebebasan warga negara dan kehidupan organisasi yang independent, birokrasi yang mendukung pemerintahan baru yang demokratis, dan masyarakat ekonomi yanginstitutionalized[23]keempat, Indonesia merupakan negara yang sangat plural. Pluralitas tersebut bukan hanya dari sudut etnis, ras, budaya, dan bahasa melainkan juga agama sehingga setiap kebijakan yang dilakukan oleh negara haruslah mengakomodir semua warga negaranya tanpa membedakan latar belakangnya. Tujuan dari pengakomodiran kebijaksanaan tersebut tidak lain agar semua warga negara mendapat sebuah kepastian hukum;[24] kelima, negara mempunyai kewajiban untuk melayani hajat keberagamaan warganya secara adil tanpa diskriminasi. Implikasi dari kewajiban negara tersebut harus diartikan secara luas terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara di mata hukum. Atas dasar itu, negara harus memenuhi hak-hak sipil warga negaranya tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut[25]; dan keenam, perkawinan antar agama secara objektif sosiologis adalah wajar karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-macam agama dan instrumen hukum yang ada di Indonesia menjamin kemerdekaan beragama bagi setiap penduduknya sehingga tentu saja terbuka kemungkinan terjadinya dua orang berbeda agama saling jatuh cinta dan pada akhirnya membentuk sebuah keluarga.
Adapun secara praktis, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah berusia lebih dari 32 tahun, sebuah usia yang menuntut peninjauan ulang atasnya karena undang-undang merupakan satu “sistem yang terbuka” yang tidak hanya melihat kebelakang kepada perundang-undangan yang ada, tetapi juga memandang kedepan dengan memikirkan konsekuensi-konsekuensi suatu keputusan hukum bagi masyarakat yang diaturnya.[26]
Kesimpulan
Penolakan terhadap perkawinan beda agama, baik dari segi pelaksanaannya maupun pencatatannya jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, maka hal tersebut juga merupakan bagian dari hak warga negara yang mesti dilindungi dan dipenuhi haknya. Asumsi dasar dari pencatatan perkawinan adalah bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian aktifitas ritual dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai perikatan yang berdimensi yuridis dan sosiologis sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legalitas yang bersifat yuridis-formal. Maka, materi-materi di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI perlu diperbaharui untuk tujuan penyempurnaan, sehingga mampu memberikan solusi terhadap persoalan yang muncul di masyarakat, baik dalam aturan formil maupun materil.

SUMBER: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar